Minggu, 27 Desember 2009

menyongsong tahun baru hijriyah

Gegap gempita perayaan tahun baru 2008 belum lupa dari ingatan kita. Di tengah guyuran hujan dan gerimis namun seolah masyarakat kita tetap begitu antusias menyambut tahun 2008. Entah karena apa mereka melakukannya. Sekedar tiru-tiru atau apa saya kurang begitu tahu. Saya termasuk orang yang tidak begitu peduli dengan tahun baru dan seluk-beluknya. Beberapa tahun baru sebelumnya saya pun nggak peduli. Bahkan di saat malam pergantian tahun yang disambut hingar-bingar oleh banyak orang tersebut, saya terlelap dalam tidur. 

Namun beda tahun ini (saya memang tetap tidak peduli), saya baru pulang dari sebuah warnet di Jakarta Barat untuk menjenguk blog saya dan cari info lain di internet. Pada saat pulang dari warnet saya menjumpai orang-orang keluar dari rumah. Mereka berada di halaman atau di gang-gang sempit yang memisahkan rumah-rumah petak mereka. Sambil menggendong anak kecil dan berpayung mereka menyaksikan atraksi kembang api menyambut pergantian tahun baru. Di tengah gerimis suara dan kilauan kembang api menghiasi seluruh penjuru langit gelap kota Jakarta.

Fantastis, begitu totalitas mereka menyambut tahun baru. Acara di teve pun tak mau kalah. Stasiun teve saling bersaing memperebutkan penonton dengan menyuguhkan acara terbaik mereka. Berapa banyak dana yang dihabiskan untuk pesta pora tersebut di seantero negeri. Di tengah bencana alam dan musibah yang melanda negeri ini seolah kita tidak peduli. Mengapa?

Tahun baru hijriyah menjelang, sebagai muslim kita tentu harus respek. Peduli. Inilah saatnya kita harus peduli. Peduli dengan bangsa kita. Peduli dengan saudara-saudara kita. Peduli dengan Bapak ibu kita. Peduli dengan anak-istri kita. Bahkan Peduli dengan diri kita. Karena selama ini kita tidak pernah mau peduli dengan diri kita. Bahkan kita melupakan siapa diri kita ini sebenarnya?

Apa yang telah kita lakukan selama ini? Untuk siapa dan karena siapa kita melakukannya? Sungguh begitu hati ini menjerit dan menangisi diri sendiri. Belum melakukan apa-apa? Bahkan lebih banyak menganiaya diri sendiri.

Duhai Bapak dan ibuku, betapa besar cinta, kasih-sayang dan pengorbananmu untukku. Namun aku melupakan itu. Aku tak mampu untuk membalas segala kebaikanmu. Begitu lemah anakmu ini. Maafkan anakmu ini Ibu. Maafkan anakmu ini Bapak.

Detik ini terus melaju. Makin dekatlah apa yang dituju. Kematianlah yang menunggu-nunggu. Pergantian hari, pergantian bulan, dan pergantian tahun hakikatnya adalah perjalanan menuju kematian. Dan makin dekat ia.

Yaa Allah yaa rabb, ampuni dosa-dosa hamba-Mu ini. Engakulah yang Maha memberi petunjuk. Tunjukilah aku ke jalan yang lurus. Ke jalan yang Engkau ridloi. Amiin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar